Revisi UU TNI: Pekerjaan Rumah Sektor Pertahanan Tetap Belum Selesai?

Dizar Ramadhan Sabana, Pratama Putra Prasetya Opini Selasa, 18 Maret 2025
Unduh Publikasi
img
Penulis :
img
Analis
Politik Keamanan
img
Analis
Politik Keamanan

Pada 18 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah telah menyetujui pembahasan revisi UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibawa ke rapat paripurna keesokan harinya. Salah satu pertimbangan revisi ini adalah usia UU TNI sudah berusia dua puluh tahun sehingga dibutuhkan evaluasi dan perbaikan mengikuti dinamika lingkungan strategis pada masa ini. Namun, alih-alih bertujuan mendorong profesionalisme TNI sebagai kekuatan utama dalam menghadapi potensi konflik dunia yang semakin bergejolak, pembahasan revisi UU TNI terkesan terburu-buru dan belum secara signifikan menyentuh aspek fundamental dalam pembangunan pertahanan Indonesia. 

Draf Terkini Revisi UU TNI

Draf revisi UU TNI terkini menuai gelombang kritik dan protes dari masyarakat sipil, terutama akibat pembahasan yang terkesan tertutup dan kilat. Akan tetapi, substansi revisi kali ini jauh lebih moderat dibandingkan dengan pembahasan pada tahun 2024 yang lalu. Beberapa poin berpolemik dari draf tahun 2024 kini tidak muncul kembali seperti (1) pasal karet penempatan TNI di instansi sipil berdasarkan keputusan Presiden; (2) penghapusan larangan berbisnis TNI; dan (3) peran penegak hukum untuk TNI AD. 

Terdapat empat poin revisi utama pada pembahasan kali ini, yaitu: (1) pasal 3 mengenai kedudukan TNI; (2) pasal 7 mengenai tugas pokok TNI; (3) pasal 47 mengenai penempatan prajurit TNI di lembaga sipil; dan (4) pasal 53 mengenai usia pensiun prajurit TNI.

Perubahan Pasal 3 mengenai kedudukan TNI cenderung minor, dengan fokus pada memberikan penegasan terkait wewenang Presiden sebagai pihak yang memiliki otoritas tertinggi dalam pengerahan kekuatan TNI dan wewenang Kementerian Pertahanan sebagai koordinator dalam perencanaan strategis dan dukungan administrasi. Pasal 7 mengenai tugas pokok TNI terdapat penambahan pada ayat (2) poin (b) terkait ranah operasi militer selain perang (OMSP) yang memperluas penugasan TNI dalam menanggulangi ancaman siber, membantu penyelamatan WNI di luar negeri, dan membantu penanggulangan masalah narkotika. Pelibatan TNI dalam penanggulangan narkotika menjadi poin yang banyak dikritisi masyarakat sipil. Terdapat kekhawatiran pelanggaran HAM dari pelibatan TNI sebagaimana terjadi di Filipina. Presiden Duterte secara aktif menggunakan militer dalam pemberantasan narkoba yang seharusnya mengedepankan pendekatan penegakan hukum dan rehabilitasi. Merespons polemik ini, audiensi DPR dengan masyarakat sipil pada tanggal 18 Maret 2025 memunculkan keputusan terkait penghapusan kewenangan TNI menangani narkotika.

Perubahan signifikan terdapat pada Pasal 47 yang menarik perhatian dan menjadi polemik di publik. Draf revisi menambah enam kementerian dan lembaga sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, yaitu 1) Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); 2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); 3) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); 4) Badan Keamanan Laut (Bakamla); 5) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); dan 6) Kejaksaan Agung (Kejagung). Alasan penambahan tersebut adalah dalam praktiknya sudah banyak prajurit TNI aktif yang berdinas di lembaga-lembaga tersebut karena bersinggungan dengan fungsi dan tugas TNI. Sebagian besar lembaga tersebut baru dibentuk setelah penetapan UU TNI pada tahun 2004, sehingga dianggap logis untuk kemudian mengakomodasi situasi tersebut. Lebih jauh, disebutkan bahwa DPR sepakat untuk menghapus KKP dari daftar tersebut. 

Terakhir, terdapat perubahan yang mendetail pada Pasal 53 mengenai masa usia pensiun prajurit TNI dari Bintara hingga Perwira Tinggi, yang mencakup ketentuan: (1) Bintara dan tamtama pensiun pada usia 55 tahun; (2) Perwira dengan pangkat kolonel pensiun pada usia 58 tahun; (3) Perwira tinggi (pati) bintang 1 pensiun pada usia 60 tahun (sebelumnya 58 tahun); (4) Pati bintang 2 pensiun pada usia 61 tahun; (5) Pati bintang 3 pensiun pada usia 62 tahun. Perubahan ini bisa dibilang cukup signifikan dari yang sebelumnya hanya mengatur usia pensiun bagi perwira (58 tahun) dan bintara-tamtama (53 tahun). Penambahan usia pensiun TNI perlu dicermati secara kritis, khususnya terkait kapasitas anggaran serta permasalahan log jam perwira yang tengah terjadi saat ini. Dikhawatirkan, perubahan usia pensiun ini justru memperburuk kedua kondisi di atas, sehingga semakin jauh dari cita-cita TNI yang profesional.

Revisi UU TNI, Kepentingan Politik atau Pertahanan?

Secara umum, tidak ada urgensi di balik pembahasan kilat revisi UU TNI. Tidak ada kegentingan, baik di lingkup internal maupun eksternal, yang mengharuskan penerbitan revisi UU TNI dikebut. Bahkan, revisi UU TNI sebenarnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025. Percepatan pembahasan revisi UU TNI lebih didorong aspek politik dibanding substansi penguatan TNI. Semestinya, pemerintah dan DPR bisa lebih dahulu melakukan pembahasan untuk merevisi UU Pertahanan Negara (Hanneg) sebagai payung hukum utama tata kelola pertahanan di Indonesia, sehingga lebih relevan dengan situasi terkini.

Penyesuaian kebijakan pertahanan idealnya bertujuan untuk menjawab perubahan ancaman, pergeseran karakter perang, serta perkembangan teknologi. Namun, draf revisi yang beredar tidak banyak menjawab permasalahan ini. Draf revisi memang sudah mengakomodasi aspek siber sebagai salah satu kapasitas kunci yang harus dibangun TNI, sebagai respons terhadap perkembangan ancaman. Namun, tidak terdapat penjelasan lebih jauh terkait wewenang TNI dalam isu tersebut. Dalam draf yang beredar akhir tahun 2024, upaya penanggulangan terhadap serangan siber didefinisikan juga sebagai penapisan konten. Padahal, TNI seharusnya fokus mengembangkan kapasitas peperangan siber (cyber warfare) terutama dalam konteks peperangan modern yang sangat bergantung pada keterpaduan matra dengan dukungan teknologi (network centric warfare). Belum lagi kencangnya tendensi TNI untuk masuk ke dalam ranah kontrol informasi dan penapisan konten, termasuk untuk kritik terhadap institusi di media sosial. Perluasan OMSP di atas bisa jadi mengaburkan realitas ancaman yang seharusnya menjadi fokus utama TNI.

Lebih jauh, kekaburan definisi ancaman sebenarnya menjadi isu krusial yang perlu menjadi perhatian dalam revisi UU TNI. Saat ini ditemukan inkonsistensi kategorisasi ancaman dalam tiga regulasi utama sektor pertahanan: UU No. 3/2003 tentang Hanneg, UU TNI, serta UU No. 233/2019 terkait Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN). Misal, UU Hanneg menggunakan istilah ancaman militer dan nonmiliter; UU TNI menggunakan terminologi ancaman militer dan bersenjata; UU PSDN memberikan tiga tipologi ancaman, yakni militer, nonmiliter, dan hibrida. Kejelasan identifikasi ancaman bersifat krusial sebagai rujukan bagi TNI untuk membangun kapasitas dan menggelar kekuatannya. Revisi UU TNI seyogyanya dapat menjadi momentum untuk memperjelas inkonsistensi konseptual yang terdapat dalam berbagai regulasi pertahanan. Jika benar-benar serius memperhatikan perkembangan ancaman sebagai pertimbangan dalam revisi UU TNI, pembahasan antara pemerintah dan DPR seharusnya membahas kejelasan tipologi definisi tersebut. Perluasan OMSP dan penambahan K/L yang bisa diisi jabatan sipil harus didasari dengan pembagian definisi ancaman yang jelas, sehingga pengerahan TNI menjadi proporsional dan tepat sasaran.

Tujuan lain penyesuaian kebijakan pertahanan adalah memperjelas berbagai hal yang kabur di periode sebelumnya. Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI belum menjadi isu yang terakomodasi penjelasannya dalam revisi terkini. Meskipun diperjelas bahwa pengerahan hanya bisa dilakukan oleh Presiden dan penggunaan oleh Panglima TNI, tidak dijabarkan lebih jauh bagaimana operasionalisasinya. Terdapat dua hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, Pasal 17 UU TNI memandatkan pengerahan kekuatan TNI harus mendapat persetujuan DPR. Namun, UU TNI tidak mengatur mekanisme/bentuk persetujuan yang diberikan oleh DPR untuk pengerahan kekuatan TNI. Kedua, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) telah menjadi tugas integral TNI. Namun, sampai saat ini regulasi turunan/teknis terkait penggunaan kekuatan TNI belum tersedia. Pasal 7 UU TNI menyatakan penggunaan kekuatan TNI, termasuk OMSP, dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Penjelasan Pasal 5 UU TNI menyebutkan bahwa kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja sama antara Pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja. Kondisi ini menjadikan ambang batas persetujuan pengerahan kekuatan TNI sangat rendah. Bahkan, acapkali diartikan juga sebagai persetujuan DPR terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan bagian dari kebijakan dan keputusan politik tersebut. Pengertian tersebut sangat mengecilkan fungsi pengawasan DPR terhadap pengerahan dan penggunaan TNI. Padahal, penugasan TNI dalam OMSP idealnya diatur dalam regulasi khusus sebagaimana dilakukan pada tugas perbantuan.

Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah mandat yang belum terlaksana dari regulasi sebelumnya. Mandat yang belum terlaksana ini seharusnya dibahas secara paralel dalam proses revisi UU TNI. Sebagai contoh, UU TNI memandatkan pengaturan tugas perbantuan TNI kepada Polri dalam urusan penjagaan keamanan dan ketertiban melalui UU. Akan tetapi, ketentuan tersebut sampai saat ini belum tersedia. Mandat lain yang belum terlaksana adalah revisi UU Peradilan Militer. Regulasi ini bersifat krusial dalam penanganan pelanggaran hukum yang dilakukan prajurit TNI, terutama ketika menjabat di instansi sipil. Selain itu, UU Peradilan militer seharusnya menjadi dasar bagi penempatan TNI di lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Kejagung.

Kesimpulan
Revisi UU 34/2004 tentang TNI yang akan segera disahkan pada pokoknya belum menyentuh aspek-aspek substansial dalam pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia dan mendorong TNI yang semakin profesional. Pembahasan dan diskursus yang terjadi justru hanya sekedar menyasar hal-hal yang sifatnya administratif, seperti masa usia pensiun dan penambahan penempatan TNI aktif di jabatan sipil. Padahal, revisi UU TNI yang kerap dibahas dengan antusiasme yang tinggi dari para pembuat kebijakan ini, seharusnya dapat dijadikan sebagai suatu momentum untuk merumuskan ulang kebijakan pertahanan yang relevan dengan tantangan dan ancaman masa kini.