
Inaugurasi Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat merupakan salah satu momentum geopolitik yang telah ditunggu semenjak November 2024. Pasalnya, dunia akan kembali dihadirkan pemimpin dunia dengan model kepemimpinan strongman. Ke depan dapat diproyeksikan tren kebijakan unilateral dan transaksional akan kental dalam berinteraksi dengan Amerika Serikat. Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan mengingat upaya multilateralisme tidak kunjung pulih, konflik di berbagai belahan dunia masih terus berkecamuk hingga pertumbuhan ekonomi yang melemah dibayangi oleh resesi. Apakah ke depan Trump akan menjadi pusat gravitasi geopolitik-geoekonomi? Apakah Trump bisa menjalankan janji populismenya di tengah situasi geopolitik saat ini?
Menuju proses inaugurasinya, Trump telah menegaskan janji kampanye melalui berbagai pernyataan pers yang disampaikannya kepada masyarakat Amerika Serikat dan dunia. Beberapa kebijakan Trump yang telah ia janjikan di antaranya adalah 1) Mengembalikan pengetatan terhadap kebijakan imigrasi dan keamanan perbatasan; 2) Mengembalikan kebijakan energi untuk berfokus pada energi konvensional; 3) Meningkatkan tarif impor dan pemotongan pajak, dan 4) Mempertimbangkan untuk keluar dari NATO kembali. Dari beragam janjinya tersebut, Trump diproyeksikan akan menyelesaikan sejumlah agenda prioritas dalam waktu dekat di antaranya, 1) Penataan fiskal-moneter domestik; 2) Penyelesaian perang Rusia-Ukraina dan perbaikan hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia, 3) Penyelesaian perang di Timur Tengah, hingga 4) Persiapan babak baru perang dagang Amerika Serikat, utamanya dengan Tiongkok. Langkah tersebut menunjukkan pragmatisme Trump meskipun akan menuai kontroversi.
Sesuai dengan janjinya, Trump akan memulihkan perekonomian domestik dengan menekan dan mengefisiensikan pengeluaran federal serta menguatkan sentimen pasar modal domestik. Upaya tersebut terlihat dengan pendirian institusi baru yaituDepartemen Efisiensi Pemerintahan yang dipimpin oleh Elon Musk serta penempatan Scott Bessent sebagai Kepala Departemen Keuangan. Kemudian, Trump diharapkan dapat menyelesaikan Perang Rusia-Ukraina secara cepat untuk menghentikan arus bantuan pinjaman yang terus dikeluarkan Amerika Serikat selama tiga tahun terakhir sebanyak USD106 miliar dari anggaran Federal. Selain itu, Rusia mengharapkan adanya perbaikan hubungan kedua negara dengan Trump sebagai Presiden Amerika Serikat 2025-2029. Terlebih, dengan momentum tersebut kedua negara dapat membahas kembali beberapa kerja sama strategis yang sempat berhenti, seperti NEW START. Lalu, pada perang di Timur Tengah, Trump telah mengirimkan utusannya untuk bernegosiasi dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menghentikan kontak senjata sebelum inaugurasinya. Walaupun dipenuhi dengan kontroversi terkait pemberhentian kontak senjata Israel-Hamas, Trump mengklaim telah berhasil mengeksekusi penyelesaian konflik yang telah berlangsung sejak Oktober 2023. Sementara itu, pada aspek perdagangan internasional Trump telah menyampaikan akan meningkatkan tarif impor kepada Tiongkok sebesar 10-60% meskipun langsung mendapat retaliasi oleh Tiongkok melalui pelarangan ekspor mineral kritis ke Amerika Serikat.
Trump memantapkan posisinya dengan melakukan proses konsolidasi politik domestik agar dapat menerbitkan kebijakan sesuai dengan preferensinya. Usaha tersebut terlihat dari struktur kabinet Trump yang diisi oleh barisan loyalis yang beberapa individu tersebut cukup dipertanyakan kompetensinya untuk menempati jabatan tersebut. Selain itu, Partai Republikan memenangkan kontestasi politik pada pemilu sebelumnya dengan mendominasi hasil pemilu baik eksekutif ataupun legislatif ditingkat federal ataupun ditingkat lokal. Di sisi lain, upaya konsolidasi terlihat dari berbagai oligarki Amerika Serikat yang berlomba-lomba berebut posisi di pihak Trump. Contoh nyata dari fenomena tersebut dapat kita lihat, salah satunya, jumlah donasi yang digelontorkan oleh para perusahaan besar, baik domestik ataupun internasional, yang nilainya cukup signifikan berbeda dalam inaugurasi Joe Biden. Perubahan tersebut dapat dipahami mengingat sejumlah kebijakan Trump akan jauh menguntungkan perusahaan besar, seperti pemotongan pajak korporasi yang signifikan, deregulasi kebijakan lingkungan, hingga privatisasi dan proteksionisme, dengan catatan itu semua di luar kebijakan baru yang dapat secara unilateral dicetuskan selama empat tahun kepemimpinannya. Selayaknya pemimpin populis yang otoriter, Trump telah berhasil mengooptasi lembaga legislatif dan melemahkan lembaga yudikatif serta memperoleh dukungan oligarki yang dapat diasumsikan bahwa Trump dapat secara bebas mengeluarkan kebijakan yang ia sukai hingga akhir periodenya, dengan catatan ceteris paribus pada hasil pemilu sela 2026.
Lalu bagaimana Indonesia menyiapkan diri untuk berinteraksi dengan Amerika Serikat ke depan? Apakah politik luar negeri bebas aktif Indonesia dapat memberikan ruang otonomi untuk Prabowo bermanuver pada kontestasi geopolitik kontemporer?
Apabila ditarik secara idiosinkratik kedua pimpinan tersebut tergolong serupa yang dapat dikategorikan sebagai strongman di mana ia akan bersikap tegas dan keras dalam melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing. Namun, berkaca pada 12 November lalu, saat Prabowo menghubungi Trump, memperlihatkan adanya preferensi Prabowo untuk membangun hubungan baik antara Jakarta dan Washington DC yang juga direspons secara positif oleh Trump. Meskipun demikian, Indonesia perlumenyiapkan serangkaian skenario mitigasi mengingat akan ada pergeseran signifikan dari kebijakan Amerika Serikat per se dari Joe Biden ke Donald Trump.
Dari sektor ekonomi, Indonesia perlu memperhatikan ketahanan ekonomi nasional, utamanya dalam menjaga kemampuan konsumsi-produksi nasional, terhadap proyeksi peningkatan inflasi dan peningkatan biaya impor yang dipengaruhi depresiasi nilaitukar terhadap dolar dan perang tarif yang akan datang. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam daftar evaluasi penerima generalized system of preferences (GSP) sehingga akan mempengaruhi performa neraca dagang secara signifikan apabila Indonesia dikeluarkan dari GSP. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan kerja sama ekonomi dengan mitra-mitra potensial dan mempercepat transformasi ekonomi nasional melalui peningkatan nilai tambah produk ekspor unggulan dari arus pra- deindustrialisasi. Di sisi lain, Indonesia juga perlu mencari investasi alternatif untuk pendanaan berbagai sektor unggulan yang akan dibangun selama pemerintahan Prabowo, utamanya terkait hilirisasi-elektrifikasi. Upaya tersebut mengingat mayoritas aliran investasi asing akan bergerak ke Amerika Serikat dan berbagai kebijakan pendanaan Amerika Serikat berpotensi akan dipangkas, seperti program Just Energy Transition Partnership (JETP).
Di sektor politik-keamanan, Indonesia perlu memetakan area kontestasi yang beririsan dengan isu sensitif negara adidaya, yang berpotensi memicu konflik. Keanggotaan penuh Indonesia dalam forum BRICS berpotensi kontra produktif bagi Indonesia. Pasalnya Trump merespons agresif dengan tarif 100% dan isolasi ekonomi terhadap inisiatif dedolarisasi BRICS. Sementara itu, kunjungan kenegaraan Prabowo Subianto ke Tiongkok juga menuai kritik, terutama atas kolaborasi pengembangan bersama di perairan Laut Natuna dan Laut Tiongkok Selatan yang dinilai tidak memiliki dasar hukum jelas. Kerja sama tersebut menimbulkan kesan keberpihakan Indonesia pada Tiongkok dan berpotensi mengurangi kepercayaan Amerika Serikat terhadap netralitas Indonesia di kawasan. Selain itu, Indonesia perlu mencermati usulan relokasi dua juta pengungsi Palestina, dengan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan. Dalam hal ini, Indonesia harus menegaskan komitmennya pada resolusi dua negara yang menjadi prinsip perjuangan kemerdekaan Palestina. Jika menerima usulan tersebut, beberapa hal perlu dipertimbangkan: 1) Apakah relokasi tersebut mendukung resolusi dua negara; 2) Apakah masyarakat Indonesia siap menerima pengungsi tanpa gesekan sosial, merujuk pada pengalaman dengan pengungsi Rohingya; dan 3) Apakah langkah ini menjadi sinyal awal bergabungnya Indonesia dalam Abraham Accords untuk mempererat hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel.
Indonesia dapat mereplikasi India sebagai praktik baik dalam memainkan politik luar negeri bebas aktif yang pragmatis. Pada periode pertama Trump, India melancarkan kebijakan proteksionisme yang berbenturan dengan Amerika Serikat. Perang dagang kedua negara tersebut mengakibatkan pencabutan GSP India oleh Trump dan peningkatan tarif untuk 28 produk sebagai retaliasi Modi. India juga mendapatkan tekanan dari Trump berupa pemberian sanksi dan tarif ketika ia berencana membeli minyak Iran dan persenjataan Rusia. Namun, pada akhirnya Modi berhasil membangun kembali hubungan India dan Amerika Serikat dari friksi sebelumnya dengan mendukung revitalisasi Quad serta menegosiasikan jalan tengah yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, seperti peningkatan tingkat lisensi otoritas perdagangan strategis mencakup pembelian beragam alutsista Amerika Serikat dan beberapa kesepakatan kerja sama energi kedua negara.
Untuk menghadapi pelbagai tantangan tersebut, Indonesia sangat krusial memiliki strategi adaptif dengan menjalankan politik luar negeri bebas aktif yang pragmatis. Indonesia perlu kembali meninjau fora internasional dan isu apa saja yang dapat dimaksimalkan untuk kepentingan nasional, baik abstrak seperti penguatan kepemimpinan ataupun konkret seperti peningkatan ekonomi. Salah satu contohnya pada BRICS. Meskipun menuai beragam kontroversi, Indonesia dapat memanfaatkan posisinya di BRICS untuk menjadi penyeimbang dalam mendorong kepentingan forum sembari memastikan terobosan-solusi tidak memperuncing ketegangan geopolitik. Selain itu, Indonesia harus menyiapkan tim negosiator berpengalaman untuk berhadapan dengan Amerika Serikat sehingga kebutuhan penempatan Duta Besar RI yang berlanjut menjadi penting. Pasalnya selama lima tahun terakhir Indonesia telah tiga kali memanggil kembali Duta Besarnya dikarenakan adanya penempatan strategis domestik yang mengakibatkan satu tahun lebih jabatan tersebut kosong. Jika Indonesia tidak mampu menghadirkan negosiator tersebut, maka diproyeksikan interaksi dengan negara adidaya tersebut akan cenderung dipenuhi konsesi Indonesia terhadap Amerika Serikat.