
Seluruh negara tengah menghadapi krisis planet (planetary crisis) yang tidak dapat diselesaikan oleh beberapa negara saja. Inisiatif mitigasi yang diselenggarakan secara multilateral telah membuahkan Kesepakatan Paris yang menuntut komitmen tidak hanya negara maju tetapi juga negara berkembang dalam menurunkan emisi, salah satunya adalah Indonesia. Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia telah mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan yang dilakukan melalui praktik Ekonomi Hijau. Berdasarkan kondisi tersebut, monograf ini mencoba melakukan 1) Evaluasi perkembangan Ekonomi Hijau; 2) Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi Indonesia; 3) memberikan strategi dan rekomendasi; dan 4) Menyusun proyeksi perkembangan Indonesia ke depan.
Monograf mengidentifikasi tiga faktor pengungkit, yakni regulasi, kelembagaan, dan pendanaan. Dari aspek regulasi temuan utama yang menjadi perhatian adalah keabsenan regulasi pada aspek sosial-teknologi, seperti ketenagakerjaan dan riset-pendidikan dan rendahnya efektivitas implementasi regulasi Ekonomi Hijau, terutama penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan. Sementara itu, pada aspek kelembagaan monograf menunjukkan KLHK, Kemenperin, dan KESDM menjadi instansi kunci berdasarkan tiga variabel, tingkat keterlibatan, tingkat prakarsa regulasi, serta komitmen penganggaran. Terakhir, pada aspek pendanaan rendahnya cakupan alokasi anggaran penanganan perubahan iklim dalam APBN menunjukkan adanya keterbatasan ruang fiskal Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan hijau. Oleh karena itu, pengadaan ekosistem pendanaan hijau yang mampu menghimpun dan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan secara efektif menjadi suatu urgensi bagi Pemerintah.
Monograf melakukan penelusuran lebih jauh tentang perkembangan transisi energi di Indonesia yang ditengarai menjadi sektor prioritas dari segi regulasi dan pendanaan. Namun demikian, studi menemukan bahwa hingga saat ini Indonesia baru memanfaatkan potensi energi baru terbarukan dalam jumlah yang relatif kecil, sebesar 13,5% pada tahun 2021. Selanjutnya, monograf mengambil studi kasus energi panas bumi mengingat panas bumi merupakan energi yang telah dilengkapi faktor pengungkit secara komprehensif namun masih belum berjalan efektif.
Bagian selanjutnya membahas berbagai tantangan yang dihadapi dalam proses penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia. Dari sisi regulasi 1) Regulasi yang diterbitkan belum meningkatkan data tawar sektor Ekonomi Hijau; 2) Dinamika ketidakpastian payung hukum dalam mengelola aktivitas Ekonomi Hijau; dan 3) Komitmen politik pemerintah dan instansi berwenang dalam menegakkan regulasi yang sudah diterbitkan. Dari sisi kelembagaan 1) Koordinasi antar K/L terkait Ekonomi Hijau; 2) Peran aktif K/L terkait yang masih terpusat pada beberapa instansi; dan 3) Minimnya kanal yang mampu menjembatani interaksi pemerintah dengan para pemangku kepentingan lain. Dari sisi pendanaan 1) Alokasi pendanaan Ekonomi Hijau yang masih bersaing dengan isu ekonomi lainnya; 2) Masih lemahnya kepercayaan publik terhadap instrumen-instrumen pembiayaan energi hijau terbarukan; 3) Keterbatasan transparansi proses monitoring dan evaluasi pendanaan hijau; dan 4) Keterbatasan kapasitas SDM.
Berbagai rekomendasi strategi juga dipresentasikan dalam monograf ini. Pertama, peningkatan komitmen politik dalam menerbitkan regulasi guna menciptakan kepastian pengembangan transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, dibutuhkannya regulasi yang mendorong inkubasi riset dan teknologi ramah lingkungan serta penciptaan tenaga kerja hijau berkualitas. Kedua, pemerintah dapat membentuk suatu Satuan Tugas (Satgas) Ekonomi Hijau yang menjadi fasilitator sinergi lintas K/L, dan sebagai landasan pembentukan forum koordinasi yang lebih luas dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam jangka menengah dan panjang, diperlukan lembaga penjuru permanen yang berfokus mengkoordinasi isu ekonomi hijau. Terakhir, Kementerian Keuangan dan OJK sebagai regulator utama untuk melakukan pemetaan kembali sektor-sektor prioritas pendanaan hingga tingkat daerah. Kebijakan yang secara sadar dan sistematis mengurangi subsidi terhadap sektor fosil perlu segera dilakukan, dengan tetap memperhatikan dampak kepada lapisan masyarakat bawah yang paling terdampak.
Pada bagian akhir, monograf memberikan proyeksi Ekonomi Hijau ke depan berdasarkan penilaian kualitatif terhadap tiga variabel utama selaku faktor pengungkit dalam merealisasikan Ekonomi Hijau tangguh dan berkelanjutan. Proyeksi ini memberikan gambaran capaian pengembangan Ekonomi Hijau pada empat periode utama, yaitu 2022 sebagai baseline, 2024 untuk pencapaian singkat (quick win), 2030 sesuai capaian target nasional, dan 2045 sebagai visi jangka panjang Indonesia. Pada tahun 2022 dan 2024, posisi Ekonomi Hijau Indonesia masih berada pada kuadran IV dengan indikasi regulasi dan kelembagaan tidak efektif serta pendanaan yang tidak optimal. Selanjutnya, kajian mendukung pergerakan ekonomi hijau hingga tahun 2030 menjadi lebih optimis dan signifikan. Sebagai implikasinya, posisi pengembangan ekonomi hijau mulai memasuki kuadran yang ideal (Kuadran I) pada tahun 2030 diikuti pergerakan ke posisi paling ideal pada 2045. Pada periode ini, regulasi dan kelembagaan yang sudah efektif dan pendanaan yang optimal mampu menjadi modal bagi ekonomi hijau untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai Visi Indonesia Emas tahun 2045.