Perang Hegemonik: Intensitas, Risiko Konflik, dan Strategi Indonesia

LAB 45, PACIS Unpar Monograf Jum'at, 30 September 2022
img

Amerika Serikat tidak dapat dipungkiri masih menjadi kekuatan utama dalam tatanan keamanan global. Namun, tren di level regional semakin bergeser ke arah multipolaritas akibat ekspansi ekonomi Tiongkok di Asia Pasifik dan bangkitnya pengaruh Rusia di Eropa Timur. Pergeseran ini meningkatkan potensi konflik regional atau bahkan memicu perang antarnegara adidaya. Indonesia cenderung memiliki limitasi dalam mengambil kebijakan di tengah konteks tersebut. Dalam konteks itu, tim penulis menyajikan sembilan skenario perang antarnegara adidaya dengan menimbang intensitas konflik berdasarkan pola-pola komitmen hegemonik dan perimbangan kekuatan, serta risikonya terhadap Indonesia melalui analisis disrupsi ekonomi dan pola kedekatan geografis. Guna mendekatkan analisis alternatif masa depan dengan kondisi nyata, studi ini juga melakukan simulasi kasus sederhana pada daerah-daerah rawan konflik antarnegara adidaya, yaitu di Laut Cina Selatan, Selat Taiwan, Kepulauan Diaoyu/Senkaku, Semenanjung Korea, Teluk Persia, dan Ukraina.

Berdasarkan pertimbangan skala intensitas dan risiko konflik terhadap keenam skenario konflik, monograf ini menawarkan empat opsi strategi raya bagi Indonesia dalam menghadapi perang hegemonik. Pertama, untuk konflik berisiko ringan, studi ini menyarankan adanya reposisi strategis dalam bentuk intensifikasi diplomasi bilateral dan kerja sama minilateral alih-alih melalui organisasi regional atau pengaturan global yang diandalkan pada masa damai. Kedua, strategi deeskalasi digunakan untuk menghadapi bahaya laten perang bumi hangus total dan sekaligus mencegah risiko konflik yang lebih besar terhadap perekonomian nasional. Ketiga, pendekatan sekuritisasi hendaknya diambil dalam skenario perang berintensitas menengah di dekat perbatasan negara untuk melindungi kedaulatan nasional dan menjaga netralitas Indonesia. Keempat, strategi mobilisasi bertujuan untuk menciptakan efek gentar dan mengantisipasi kemungkinan perluasan konfrontasi militer antarnegara adidaya ke wilayah perbatasan Indonesia. Langkah itu dilakukan dengan diplomasi anti akses/penangkalan wilayah, pengaktifan komponen cadangan dan pendukung pertahanan, serta penerapan wajib militer.