
Quo Vadis Keberlanjutan Erosi Nilai Demokrasi Indonesia

Publikasi Terbaru
Rabu, 07 Mei 2025
Selasa, 06 Mei 2025
Quo Vadis Keberlanjutan Erosi Nilai Demokrasi Indonesia
Politik Keamanan
Momentum pemilihan kepala pemerintahan merupakan titik kulminasi dalam menilai seberapa jauh demokrasi sebuah negara bertumbuh. Pada momentum tersebut masyarakat internasional secara singkat dapat melihat efektivitas institusi politik bekerja, baik pemerintah, parlemen hingga independensi peradilan, demografi budaya politik, dan peran masyarakat sipil dalam satu periode yang bersamaan. Oleh karena itu, pemilihan umum kerap kali dimanfaatkan negara di dunia untuk meningkatkan ataupun merevitalisasi pembangunan demokrasinya. Namun, menurut laporan lembaga pemeringkat demokrasi, nilai Indonesia kembali menurun ketika Indonesia telah menyelenggarakan berbagai pemilihan langsung secara serentak tahun lalu. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato pelantikannya, menyatakan bahwa Indonesia menghendaki demokrasi sebagai cara bernegara namun tentu diimplementasikan dengan karakter Indonesia. Apakah pemerintahan Prabowo dapat memulihkan kondisi demokrasi nasional dengan ciri khas Indonesia? Bagaimana proyeksi demokrasi Indonesia ke depan?
Tingkat demokrasi sebuah negara mencerminkan nilai-nilai demokrasi untuk memperhitungkan stabilitas politik-ekonomi nasional. Hal tersebut dikarenakan demokrasi menghadirkan perimbangan kekuatan, transparansi dan akuntabilitas dalam proses bernegara sehingga meyakinkan negara mitra untuk bekerja sama lebih dalam antarnegara. Apabila demokrasi menurun maka terdapat indikasi potensi instabilitas yang tentunya akan mengganggu kepercayaan negara tersebut di kancah internasional. Di tengah gelombang regresi demokrasi global, sejumlah negara berhasil meningkatkan kualitas demokrasinya pascapemilu. Pada tahun 2022, Malaysia berhasil menghadirkan pemilu yang menguatkan nilai-nilai demokrasi. Proses elektoral pemilihan kepala pemerintahan di Malaysia berlangsung cukup kompetitif dengan tidak adanya suara mayoritas dan persaingan antarkoalisi yang tinggi. Walaupun sempat menghasilkan parlemen menggantung, institusi politik Malaysia cukup mapan sehingga menghasilkan proses transisi yang lancar. Terlebih, Malaysia meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu melalui amandemen konstitusi yang menurunkan usia pemilih menjadi 18 tahun. Hal serupa juga terjadi pada pemilu Uruguay tahun lalu di mana terdapat pergantian kepemimpinan dengan kemenangan Yamandú Orsi mengalahkan koalisi konservatif. Transisi pemerintahan yang berlangsung cukup lancar dengan mengedepankan dialog dalam menghadapi dilema antara perimbangan janji konstituennya dan menjaga roda pertumbuhan ekonomi. Di luar kontroversi dinamika pemilu masing-masing, kedua negara berhasil memperbaiki sejumlah nilai demokrasi nasionalnya.
Di sisi lain, Indonesia hanyut akan gelombang penggerusan demokrasi lebih dari lima tahun. Penggerusan terjadi pada aspek kebebasan sipil. The Economist Intelligence Unit (EIU) melalui Democracy Index menyoroti kebebasan sipil dan budaya politik masyarakat Indonesia menurun dan stagnan. Kebebasan sipil Indonesia kian menurun akibat beragam regulasi represif yang menguatkan relasi kuasa antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Terlebih, penyusunan regulasi yang minim partisipasi publik. Sementara itu, polarisasi yang menajam pada pemilu 2017-2019, baik ditingkat pilkada ataupun pilpres, di mana masyarakat terpecah cukup ekstrem membela pasangan calon masing-masing. Sejalan dengan kondisi tersebut, Freedom in the World oleh Freedom House juga mengamini kondisi tersebut di mana penggerusan terfokus pada kebebasan berekspresi dan hak berorganisasi. Penurunan tersebut diakibatkan persekusi hingga peretasan-doxing terhadap sejumlah masyarakat sipil dan jurnalis yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintah.
Namun, dua tahun terakhir, utamanya menuju dan saat pemilu, penggerusan demokrasi telah merambat pada aspek hak-institusi politik. Freedom House menyoroti hak politik yang kembali menurun satu poin utamanya pada kompetisi pemilihan presiden yang tidak imbang antara calon yang didukung pemerintah dan yang tidak. Terlebih, penyelenggaraan pemilu dinilai buruk akibat implementasi yang cukup manipulatif, seperti pergantian aturan pemilu dan penyalahgunaan sumber daya negara dalam pemilu 2024. Persoalan pemilu juga disoroti oleh EIU di mana Prabowo memperoleh dukungan dari Jokowi dengan menempatkan Gibran, anak sulung Jokowi, sebagai pendampingnya pada kontestasi pilpres melalui putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi.
Tentu ini merupakan alarm bagi demokrasi nasional dikarenakan efektivitas dan akuntabilitas pemerintah sebagai pilar utama penopang demokrasi Indonesia selama satu dekade terakhir sudah dirusak cukup parah. Gejala tersebut sudah dapat terdiagnosis jika kita merujuk Indeks Tata Kelola Dunia (Worldwide Governance Index) yang diterbitkan Bank Dunia. Tata kelola Indonesia menunjukkan perbaikan kinerja pemerintah yang semakin efektif selama satu dekade terakhir. Hanya saja pertumbuhan tersebut tidak diimbangi oleh perbaikan pada kinerja pemberantasan korupsi yang stagnan-menurun. Dengan demikian, tidak mengherankan efek domino timbul dari perilaku koruptif yang semakin menggurita membuat pemerintah tidak berfungsi dalam menjaga nilai-nilai demokrasi nasional. Apabila tidak terdapat pembenahan lebih lanjut maka bukan tidak mungkin sejarah akan kembali terulang di mana krisis sosial mengemuka diikuti dengan krisis ekonomi yang mengakibatkan berakhirnya masa pemerintahan orde baru.
Tren penurunan tersebut tidak dapat dilepaskan oleh semakin berkurangnya elemen penyeimbang dalam dinamika demokrasi Indonesia. Koalisi tenda besar pemerintah di parlemen berlanjut dan semakin meluas pascapemilu berakhir. Prabowo berhasil mengonsolidasikan berbagai partai ditingkat elite dengan menyerap partai lawan saat pemilu, seperti PKB dan PKS, dalam mega kabinetnya sehingga dapat meningkatkan daya tawar di parlemen. Selain itu, Prabowo memperkuat kabinetnya dengan mengikat kelompok oligarki. Di sisi lain, masyarakat sipil sebagai lapisan akhir elemen penyeimbang non-parlemen menghadapi beragam tantangan seperti penyempitan ruang berekspresi akibat persekusi yang berlanjut terhadap elemen pers dan aktivis serta kerentanan dalam menjaga keberlanjutan gerakan akibat minimnya dukungan pendanaan dan adanya kebiasaan lembaga masyarakat sipil digunakan sebagai batu loncatan. Terlebih, gerakan masyarakat sipil memiliki keterbatasan dalam perang pengaruh di percaturan politik Indonesia apabila elite politik telah terkonsolidasi sangat kuat. Beberapa contoh aksi masyarakat sipil yang masif namun tidak menghasilkan pengaruh signifikan adalah pada tahun 2019 saat proses revisi undang-undang KPK yang dipandang melemahkan KPK dengan menarik KPK di bawah roda birokrasi dan meningkatkan kerentanan independensi lembaga ad hoc tersebut. Contoh lainnya adalah aksi penolakan terhadap pengesahan revisi undang-undang TNI yang justru melegalkan penempatan perwira militer di lembaga sipil yang sebelumnya tidak diatur pada UU TNI 2004.
Dengan laju penurunan yang kian menajam, apakah demokrasi Indonesia masih memiliki harapan? Apakah pemerintahan Prabowo dapat memulihkan nilai-nilai demokrasi? Rencana Pemerintah Jangka Panjang Nasional 2025-2045 meniscayakan pembangunan demokrasi Indonesia mengarah pada demokrasi substansial yang mengemban amanat rakyat. Pemerintahan Prabowo memainkan peranan penting sebagai fondasi pembangunan dua puluh tahun mendatang menuju Indonesia Emas 2045. Namun, perkembangan terkini dapat diproyeksikan penggerusan akan terus terjadi bahkan berpotensi menurun kualitas demokrasi lebih dalam. Polemik meningkatnya peran militer di awal masa pemerintahan Prabowo akan menjadi sorotan utama dikarenakan kebijakan tersebut merupakan tanda-tanda bagi rezim otoriter mempertahankan pengaruhnya. Militer seakan berfungsi sebagai akselerator pemecah masalah untuk kepentingan presiden di luar fungsi utamanya, seperti penanganan pagar laut ilegal di sekitar pantai utara Jakarta-Banten, keberlanjutan program ketahanan pangan nasional hingga pembukaan dapur khusus untuk menopang program makan bergizi gratis di kota besar. Pelibatan masyarakat spil yang sekadar menyampaikan masukan tanpa memberikan pengaruh signifikan terhadap proses tata negara menunjukkan poin krusial bagi demokrasi Indonesia yang masih terbatas prosedural belum sampai pada demokrasi deliberatif.
Di samping itu, Prabowo juga sempat melempar isu untuk memotong biaya demokrasi dengan penyelenggaraan pilkada melalui DPRD yang tentu akan menggerus lebih jauh partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi nasional. Pernyataan tersebut seakan menyederhanakan prinsip demokrasi dengan mengusulkan jalan pintas dengan berkelit pada beban tinggi demokrasi alih-alih memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Apabila tidak ada perubahan signifikan ke depan dan wacana kontroversial tersebut dilegalkan, maka hanya menunggu waktu penurunan nilai demokrasi Indonesia bergeser dari demokrasi cacat yang bebas terbatas menjadi rezim hibrida yang tidak bebas bagi masyarakatnya. Dengan demikian, pemerintah seakan membiarkan praktek-praktek penggembosan demokrasi berjalan sejak pendekatan hard landing dipilih oleh Jokowi dengan manipulasi politik yang dibangun untuk menjaga kehadiran Gibran berlaga di pilpres hingga periode transisi pada pemerintahan awal Prabowo. Jika pemerintah mengehendaki adanya pemulihan demokrasi di tengah gelombang, maka Jokowi tidak akan memilih keputusan hard landing pada akhir masa pemerintahannya ataupun Prabowo pada awal pemerintahannya langsung meluruskan kembali nilai demokrasi yang telah melenceng.
Dari sejumlah fenomena di atas perlu diantisipasi penurunan lebih jauh pada beberapa indikator penyusun indeks demokrasi internasional, seperti fungsi pemerintah, budaya politik demokrasi, pluralisme dan partisipasi politik, serta kebebasan berekspresi. Lalu, bagaimana sebaiknya pemulihan demokrasi Indonesia dimulai? Erica Benner dalam bukunya mengatakan bahwa demokrasi merupakan hasil kompetisi pengaruh yang dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pembagian kekuatan (power sharing) dan monopoli kekuatan (monopolistic power). Pendekatan pembagian kekuatan merupakan pendekatan yang mengedepankan deliberasi dan kompromi, baik penguasa dan masyarakat, dalam berdinamika demokrasi. Sementara itu, pendekatan monopoli kekuatan merupakan pendekatan yang melegalkan penggunaan seluruh sumber daya dan wewenang dalam menekan lawan politik, termasuk melenturkan aturan hukum hingga pengerahan aparat bersenjata. Benner tidak mengotak-otakkan kedua pendekatan tersebut eksklusif pada satu pihak tertentu melainkan dia berpendapat keduanya dapat digunakan oleh seluruh pihak dengan memperhatikan batasan-batasan terhadap nilai demokrasi yang tergerus.
Kondisi Indonesia saat ini merefleksikan pertarungan kekuatan asimetris yang semakin tajam antara penguasa dan masyarakat sipil dengan pendekatan monopoli kekuatan oleh pemerintah. Padahal jika berkaca pada kemajemukan sosial di Indonesia, maka gotong royong dan toleransi merupakan nilai luhur utama yang perlu ditelurkan dalam demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, demi mengawal pembangunan demokrasi sesuai dengan perencanaan nasional, kohesi sosial perlu dijaga dan diperkuat melalui peningkatan daya tawar masyarakat sipil dan pendidikan politik yang lebih matang. Salah satu penguatan yang dibutuhkan adalah fungsi pengawasan yang selalu memberikan pendapat kritis dan solusi alternatif di setiap kebijakan publik. Harapan tersebut masih ada namun perlu dilindungi lebih jauh agar gerakan masyarakat sosial tidak padam dalam mengkritisi kebijakan publik kontroversial, seperti aksi demonstrasi seperti Garuda Biru penolakan RUU Pilkada dan Indonesia Gelap penolakan terhadap efisiensi anggaran pendidikan-kesehatan hingga subsidi energi. Terlebih, gelombang judicial review yang diajukan oleh para mahasiswa terus bermunculan untuk memastikan beragam regulasi saat ini tetap menjiwai semangat demokrasi, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XXII/2024 dan No. 176/PUU-XXII/2024. Kedua contoh tersebut merupakan praktik baik pemberdayaan dan kematangan pendidikan politik masyarakat Indonesia dalam mengawal pembangunan demokrasi substansial yang perlu ditingkatkan.