
Seminggu setelah Korea Utara melakukan uji coba rudal balistik antarbenua, yang diklaim sebagai Hwasong-17, Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan bahwa pemerintah Korea Utara telah berbohong. Berdasarkan hasil analisis intelijen Korea Selatan, yang diuji pada 24 Maret lalu bukanlah Hwasong-17, melainkan Hwasong-15. Korea Selatan menilai kebohongan publik tersebut dilakukan Kim Jong Un untuk menutupi fakta bahwa sebenarnya Hwasong-17 belum sukses dikembangkan.
Tidak begitu penting apakah Kim Jong Un benar berbohong atau tidak dan apakah yang dites adalah Hwasong-15 atau Hwasong-17. Yang dunia perlu ingat adalah bahwa tes sekitar dua pekan lalu tersebut menunjukkan pencapaian kemajuan teknologi rudal Korea Utara. Rudal tersebut terbang hingga ke ketinggian sekitar 6.000 km, sementara tes sebelumnya pada 2017 hanya mencapai ketinggian 4.500 km. Hal lain yang penting untuk dimengerti tentang Korea Utara adalah sumber pemicu ambisinya mengembangkan senjata nuklir.
Alasan yang mendasari ambisi nuklir Korea Utara adalah rasa tidak aman yang dialami rezim keluarga Kim (dari era Kim Il Sung hingga Kim Jong Un) akibat ancaman dari Amerika Serikat menggunakan senjata nuklir terhadap Korea Utara selama Perang Korea berlangsung. Meskipun Perang Korea telah “berakhir” dengan sebuah perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 27 Juli 1953, permusuhan masih berlanjut antara Korea Utara versus Amerika Serikat dan Korea Selatan. Amerika Serikat mempertahankan kehadiran militernya di Korea Selatan untuk menangkal Korea Utara. Korea Utara meresponsnya dengan membangun kekuatan tentara konvensional yang besar, serta mendekati Uni Soviet dan Tiongkok untuk mendapatkan dukungan militer.