
Publikasi
Publikasi Kami

Dampak Kebijakan Pemberhentian Investasi Tiongkok terhadap Sektor Batu Bara Indonesia
Degradasi lingkungan secara global membuat kesadaran akan aspek lingkungan dalam kebijakan pemerintah semakin tinggi. Upaya-upaya untuk mengatasi krisis perubahan iklim terus bermunculan dari seluruh dunia seiring agenda mencapai target Paris Agreement. Sebagai salah satu negara yang menyepakati Paris Agreement, Tiongkok mengambil langkah tegas dengan menghentikan pembiayaan investasi sektor batu bara di luar negeri, termasuk pada Indonesia. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mendorong negara-negara berkembang, khususnya yang terkait dengan program Belt and Road Initiative, untuk mengedepankan potensi penggunaan energi hijau. Sejak tahun 2020, tren investasi energi domestik Tiongkok sudah menunjukkan adanya pergeseran yang signifikan, ketika investasi pada sumber energi terbarukan, khususnya solar, semakin mendominasi dan investasi pada sektor batu bara semakin minim.
Kajian ini mengulas dampak pemberhentian pendanaan Tiongkok pada sektor batu bara terhadap Indonesia. Terlepas dari target Pemerintah untuk mempercepat transisi energi, Indonesia masih membutuhkan sumber energi yang berasal dari batu bara. Adanya pemberhentian pembiayaan sektor batu bara oleh Tiongkok akan membuat industri batu bara kesulitan melakukan pencarian sumber pendanaan baru. Substitusi pendanaan oleh perbankan juga hanya dapat dilakukan dalam jangka pendek, mengingat beberapa Bank sudah bertekad untuk menghentikan pendanaan pada sektor energi fosil. Hingga 2030, Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku penyedia jasa akan memanfaatkan PLTU existing untuk mencapai target bauran energi pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Hal ini juga sejalan dengan larangan pemerintah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU baru.
Dalam jangka pendek, kajian ini mengusulkan agar pemerintah fokus membenahi masalah disparitas harga batu bara agar kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dapat terpenuhi. Program pemerintah untuk membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bertujuan untuk menutup disparitas harga melalui skema kompensasi perlu dilanjutkan. Dalam jangka Panjang, Indonesia harus mengambil peluang dari reorientasi pendanaan Tiongkok untuk mempercepat transisi energi. Selain itu, pemerintah dapat membentuk atau menggunakan BLU yang sudah ada untuk melakukan pendanaan transisi energi dengan dana yang bersumber dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) batu bara.

Ekonomi Hijau dalam Visi Indonesia 2045
Seluruh negara tengah menghadapi krisis planet (planetary crisis) yang tidak dapat diselesaikan oleh beberapa negara saja. Inisiatif mitigasi yang diselenggarakan secara multilateral telah membuahkan Kesepakatan Paris yang menuntut komitmen tidak hanya negara maju tetapi juga negara berkembang dalam menurunkan emisi, salah satunya adalah Indonesia. Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia telah mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan yang dilakukan melalui praktik Ekonomi Hijau. Berdasarkan kondisi tersebut, monograf ini mencoba melakukan 1) Evaluasi perkembangan Ekonomi Hijau; 2) Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi Indonesia; 3) memberikan strategi dan rekomendasi; dan 4) Menyusun proyeksi perkembangan Indonesia ke depan.

Prospek Ekonomi Biru bagi Pemulihan Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki potensi ekonomi biru yang besar sebagai alternatif penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Realisasi atas potensi ini menjadi krusial ketika pertumbuhan dari sektor lainnya tidak lagi bisa menopang kebutuhan yang terus berkembang. Oleh karena itu, pemetaan dan perencanaan terhadap potensi ini perlu disusun sedini mungkin. Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan ekologi menjadi kunci pengembangan ekonomi biru. Dalam konteks tersebut, kajian ini menganalisis

Dampak Utang Jatuh Tempo terhadap Nilai Tukar
Tekanan dari pembayaran kupon dan jatuh tempo utang terhadap nilai tukar cenderung tidak menimbulkan masalah. Tekanan ini juga relatif minimal terhadap Neraca Transaksi Berjalan (Current Account).

Tinjauan Ekonomi Hijau
Istilah Ekonomi Hijau pertama kali muncul oleh Pearce et al. pada 1989, lewat laporan “Blueprint for a Green Economy”. Semenjak itu, terjadi perkembangan istilah. Pada 2011, United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan Ekonomi Hijau sebagai “peningkatan kesejahteraan dan kesetaraan sosial, dan secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi”.

BBM Bersubsidi untuk Nelayan
Hasil survei memperlihatkan penyaluran BBM bersubsidi ke nelayan kecil dan tradisional belum tepat sasaran. Ketidaktepatan distribusi BBM bersubsidi ke nelayan kecil dan tradisional telah merugikan semua pihak.

Covid-19 in Indonesia: Impacts on the Economy and Ways to Recovery
Covid-19 memiliki dampak sistemik bagi perekonomian, tidak terkecuali Indonesia. Sebagai sebuah perekonomian yang bergantung pada konsumsi, pemerintah Indonesia dihadapkan oleh dilema antara menekan laju penyebaran virus atau mempertahankan roda perekonomian. Kebijakan pembatasan sosial menjadi ‘pil pahit’ bagi perekonomian untuk dapat memulihkan aktivitas ekonomi sebelum pandemi terjadi. Meski begitu, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah untuk memperbaiki scarring effect akibat Pandemi Covid-19.

Penataan Bisnis Minyak Sawit
Pemerintah telah membuat langkah positif membuka kembali keran ekspor minyak sawit. Juga telah melakukan investigasi pelanggaran bisnis minyak sawit. Namun, upaya itu perlu dilengkapi agenda kebijakan untuk perbaikannya.

Polemik Komoditas Gula
Produktivitas komoditas gula dalam negeri tidak dapat berkembang akibat dua hal, yaitu: (1) rendahnya upaya intensifikasi seperti mesin dari pabrik gula yang mayoritas berumur 100-184 tahun; dan (2) terbatasnya kegiatan ekstensifikasi terlihat dari ketersediaan lahan tanam tebu.

Tantangan Realitas Geopolitik Baru
Hingga kini institusi-institusi internasional belum efektif mengatasi kelabilan global sebagai akibat dari tindakan perang dan agresi militer. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia di masa depan.