Publikasi
Publikasi Kami
Algorithmic Regimes: Methods, Interactions, and Politics (Digital Studies)
Algorithmic Regimes, disebut juga Rezim Algoritma, adalah suatu kondisi di mana sistem algoritma berkembang menciptakan realitas baru melalui interaksi antara manusia dan mesin dalam dunia digital. Ide ini awalnya muncul dari sifat algoritma yang fleksibel, transparan, dan dinamis, sehingga menjadi suatu solusi yang dapat digunakan untuk mendukung demokratisasi dan transparansi dalam hubungan masyarakat-pemerintah, khususnya terhadap proses pemantauan berjalannya sistem pemerintahan dalam sistem pengawasan oleh masyarakat. Akan tetapi, fungsi algoritma juga dapat digunakan oleh segelintir pihak, khususnya penguasa, untuk memanipulasi perilaku, mengintervensi, memantau, dan memanfaatkan data milik masyarakat tanpa persetujuan untuk kepentingan pemerintah.
The New Fire: War, Peace, and Democracy in the Age of AI
Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) diibaratkan seperti api, yang evolusi dan implikasinya terbagi menjadi tiga bagian penting. Pertama, “kobaran api” (“ignition”) mengeksplorasi elemen dasar data, algoritma, dan kekuatan komputasi yang telah merevolusi AI modern, membedakannya dari rekayasa perangkat lunak tradisional. Kedua, “bahan bakar” (“fuel”) menunjukkan daya tarik keberhasilan AI dalam mendorong negara-negara untuk memanfaatkan potensinya demi kepentingan keamanannya, serta menyadari signifikansi strategisnya. Ketiga, “kebakaran” (“wildfire”) menyelidiki risiko terkait pengembangan AI yang tidak terkendali, menekankan keseimbangan antara mencapai keamanan dan mengurangi rasa takut, ketika negara-negara memasukkan AI ke dalam strategi militernya, yang berpotensi menyebabkan ketegangan dan konflik. Ketiga bagian ini dilihat secara berbeda tiga kelompok utama yang memiliki perspektif masing-masing terhadap perkembangan AI, yakni Evangelist, Cassandra, dan Warrior. Sementara para Evangelist ingin menggunakan AI untuk memajukan sains dan memberi manfaat bagi umat manusia, Cassandra mengkhawatirkan dampak bencana dari machine learning, sedangkan para Warrior menahan keinginan untuk menghakimi sambil mendorong riset-riset lebih jauh.
Understanding Land Warfare
Perang masih merupakan isu penting dalam hubungan antarnegara. Kemenangan dalam suatu perang berarti keberhasilan negara menggunakan beragam instrumen dalam peperangan di berbagai domain. Peperangan darat adalah salah satu domain kunci dalam memenangkan perang sejak masa lalu. Berbeda dengan domain lainnya, daratan memiliki karakteristik yang unik. Karakteristik itu terdiri dari (1) pentingnya kepentingan politik atas daratan; (2) variabilitas medan pertempuran; (3) opasitas medan pertempuran di daratan; (4) resistensi akibat sulitnya bergerak dengan cepat di daratan jika dibandingkan laut maupun udara; serta (5) mutabilitas atau kemampuan modifikasi daratan.
Great-Power Competition and Conflict in the 21st Century Outside the Indo-Pacific and Europe
Terdapat dua konsep yang menjadi kunci dalam tulisan ini, yakni persaingan dan teater sekunder. Persaingan dalam dunia internasional melibatkan usaha memperoleh keuntungan. Usaha tersebut dilakukan melalui pengejaran kepentingan sendiri, seperti kekuatan, keamanan, kekayaan, pengaruh, dan status, yang sering dianggap pihak lain sebagai sumber tantangan atau ancaman. Dari definisi tersebut, dapat ditarik dua aspek persaingan. Pertama, persaingan adalah permainan relatif. Tulisan ini mengkaji pengaruh, kekuatan, dan status dari Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Rusia secara relatif. Kedua, persaingan tidak terikat secara tegas dan bertempat di berbagai domain. Negara-negara memperebutkan berbagai jenis barang sehingga menggunakan seperangkat instrumen–diplomatik, informasi, militer, dan ekonomi–untuk mencari keunggulan kompetitif. Dengan demikian, studi persaingan di teater sekunder perlu mempertimbangkan persaingan lintas dimensi yang berbeda. Konsep kedua adalah teater sekunder, yakni kekuatan-kekuatan besar bersaing untuk meningkatkan pengaruhnya di luar wilayah mereka. Tiga teater sekunder tersebut meliputi Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin, yang didefinisikan sebagian besar di sepanjang batas geografis komando daripada konvensi politik.
Security and Defence: Ethical and Legal Challenges in The Face of Current Conflict
Sudut pandang multidisipliner berbasis etika menjadi pendekatan yang tepat dalam menghadapi konflik di abad ke-21. Coloquio Internacional sobre Cerebro y Agresión International Foundation bersama Antonio de Nebrija University dan didukung oleh Banco de Satander mencanangkan sebuah buku untuk mengumpulkan pendapat ahli dari berbagai bidang keilmuan tentang konflik yang terjadi pada zaman ini. Tema utama dalam buku Security and Defence: Ethical and Legal Challenges in The Face of Current Conflict dapat dibagi menjadi dua. Bagian pertama membahas masalah sains dan teknologi, khususnya pada bidang sibernetika. Sementara itu, bagian kedua mendalami permasalahan etis yang dihadapi dalam konflik di zaman ini. Topik-topik yang dibahas dalam buku ini cenderung beragam, sesuai dengan realitas pascamodernisme yang kompleks, kontradiktif, dan bermacam-macam.
Anticipating Chinese Reactions to U.S. Posture Enhancements
Dilema keamanan mengacu pada situasi ketika tindakan yang diambil sebuah negara untuk meningkatkan keamanannya, seperti membuat aliansi atau memperkuat kemampuan militernya, sehingga mendorong negara lain untuk melakukan hal yang sama dan meningkatkan tensi atau ketegangan di antara mereka. Tiongkok telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia selama beberapa dekade terakhir. Kondisi ini juga dibarengi dengan peningkatan kebutuhan domestik Tiongkok dan dorongan untuk memperkuat kapabilitas militernya guna mengamankan kepentingan nasional. Kebangkitan Tiongkok tersebut merupakan ancaman bagi Amerika Serikat (AS).
Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah melewati berbagai tantangan dan perubahan-perubahan. Secara historis, Indonesia selama tahun 1945–1998 telah melewati lima (5) fase perkembangan demokrasi yang juga beriringan dengan perkembangan pemikiran mengenai dasar ideologi Indonesia, yakni Pancasila. Periodisasi ini didasari dengan perubahan konstitusi yang disertai dengan dinamika politik domestik. Periode-periode tersebut merupakan masa terjadinya perubahan yang signifikan di Indonesia. Perubahan itu diawali dengan dimulainya sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mempertemukan kalangan kaum kebangsaan, kaum Islamis, dan kaum liberal Barat dalam sebuah forum rembuk untuk menyepakati apa yang seharusnya menjadi ideologi negara Indonesia. Sidang BPUPKI juga bertujuan untuk menyepakati apa yang akan menjadi wilayah teritorial, kewarganegaraan, rancangan undang-undang dasar (UUD), ekonomi, pendidikan, dasar negara, dan bentuk pemerintahan Indonesia.
Affective Politics of Digital Media: Propaganda by Other Means
Kini, sekat antara dunia nyata dan maya kian kabur. Media online dan media sosial menjadi arena baru pertarungan berbagai macam kepentingan. Di era post-truth, emosi memainkan peran sentral dalam laga tersebut. Megan Boler dan Elizabeth Davis (editor) dalam Affective Politics of Digital Media: Propaganda by Other Means menyajikan potret eksploitasi dan komodifikasi emosi yang marak terjadi dalam ekosistem media digital.
Social Media and the Post-Truth World Order: The Global Dynamics of Disinformation
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS pada 2016, bersamaan juga dengan keputusan Britania Raya keluar dari Uni Eropa (Brexit) memicu diskusi panjang perihal fenomena post-truth. Post-truth sendiri dapat diartikan sebagai situasi di mana realitas tidak lagi objektif. Artinya, orang akan lebih menerima argumen-argumen berdasarkan emosi yang subjektif, alih-alih fakta empirik. Dalam fenomena ini, realitas didisrupsi dengan kehadiran info-info yang kebenarannya diragukan dan membentuk kebingungan publik. Media sosial menjadi poin pembicaraan krusial ketika membicarakan post-truth karena ia memungkinkan berita tersebar dengan cepat dan, melalui algoritmanya, lebih targeted kepada pengguna tertentu. Peran media sosial dalam kondisi post-truth kemudian berhubungan dengan konteks global yakni keresahan terkait tatanan liberal yang dibangun oleh Barat.
Danger Zone: The Coming Conflict with China
Kisah tentang “kebangkitan pengaruh Tiongkok” di kancah global merupakan salah satu yang paling sering dibaca di abad ke-21. Baik di Washington maupun di dunia, kebangkitan Beijing merupakan ancaman bagi Amerika Serikat. Semua negara sedang mempersiapkan dunia di mana Tiongkok akan menjadi nomor satu. Brand dan Beckley dalam Danger Zone: The Coming Conflict with China memberikan pandangan berlawanan mengenai Tiongkok dengan menjabarkan mengapa negara tersebut berada di dalam masalah yang lebih besar daripada yang para ahli pikirkan, mengapa tren tersebut membuat beberapa tahun ke depan semakin sulit, dan bagaimana Amerika Serikat menghadapi pengaruh Tiongkok yang semakin besar.