Dinamika global saat ini diwarnai oleh ketidakpastian akibat persaingan geopolitik. Dewasa ini, negara-negara adidaya saling bersaing menawarkan kerangka kerja konektivitas dengan membangun suatu jaringan rantai nilai untuk kepentingan geopolitik mereka. Meskipun isu ini strategis, perkembangan diskusi dan literatur masih cenderung berporos pada perspektif negara-negara penggagas inisiatif global. Oleh sebab itu, monograf ini berupaya untuk menawarkan cara pandang baru dari negara non-penggagas dalam menghadapi beragam prakarsa konektivitas.
Tim penulis terlebih dahulu mengulas perkembangan diskursus seputar konektivitas global dengan secara khusus menggunakan pendekatan rantai nilai global (Global Value Chain, GVC). Berdasarkan tinjauan terhadap faktor-faktor eksternal dan internal, monograf ini mengidentifikasi Indonesia cenderung berada di sisi hulu dengan tingkat forward participation (FP) yang tinggi. Ketidakseimbangan dalam postur ekonomi dan perdagangan berpotensi mengancam ketahanan Indonesia ke depannya. Di antara 20 komoditas ekspor utama dan 20 komoditas impor utama, tim penulis menemukan bahwa mitra dagang Indonesia masih cenderung cukup terkonsentrasi, yaitu pada Tiongkok. Dengan mempertimbangkan potensi ancaman terhadap ketahanan dan stabilitas Indonesia, Indonesia berkepentingan untuk menutup kekurangannya di sektor hilir dengan meningkatkan backward participation (BP) dan melakukan diversifikasi mitra.
Dalam konteks itu, kerangka kerja konektivitas global yang digagas oleh Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, menghadirkan kesempatan yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Tim penulis memilih enam prakarsa konektivitas yang dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap Indonesia, yaitu (i) ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP); (ii) A New Plan for Free and Open Indo-Pacific (NPFOIP); (iii) Free, Peaceful, and Prosperous Indo-Pacific (FPPIP); (iv) Global Development Initiative (GDI); (v) Global Gateway; dan (vi) Indo- Pacific Economic Framework (IPEF). Monograf ini mengidentifikasi berbagai peluang dan tantangan yang ditawarkan oleh masing-masing inisiatif global tersebut.
Tim penulis tidak bermaksud merekomendasikan agar Indonesia memilih salah satu kerangka kerja konektivitas. Kelima inisiatif global tersebut menghadirkan risiko yang beragam dengan kecenderungan moderat. Sebagai catatan, hanya NPFOIP Jepang yang menawarkan peluang maksimal sementara inisiatif konektivitas global lainnya memiliki kekurangan dalam dua atau tiga aspek. Monograf ini pun menemukan bahwa inisiatif konektivitas global itu sendiri bukan sesuatu yang statis, melainkan bergerak dan mengalami perubahan sesuai perkembangan dan dinamika politik global. Sehingga, tidak menutup kemungkinan risiko yang dihadirkan akan semakin meningkat atau menurun seiring dengan interaksi antarnegara adidaya. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan inisiatif-inisiatif konektivitas global selain NPFOIP turut menghadirkan peluang-peluang yang maksimal.
Dalam menghadapi peluang dan risiko masing-masing prakarsa konektivitas global, Indonesia perlu melihat faktor-faktor internal sebagai modalitas membentuk strategi yang sesuai. Monograf ini membaginya ke dalam faktor pengungkit dan faktor penghambat. Terdapat empat poin utama yang perlu diperhatikan, yaitu 1) faktor internal untuk meningkatkan partisipasi GVC tidak selalu mendukung pemanfaatan inisiatif konektivitas global; 2) status faktor sebagai pengungkit/penghambat dapat berganti satu sama lain; 3) faktor pengungkit tidak bersifat absolut; dan 4) faktor-faktor lain di luar cakupan monograf ini.
Tim penulis mencatat sepuluh temuan utama. Pertama, transfer teknologi merupakan penentu konfigurasi GVC. Kedua, inisiatif konektivitas global merupakan konsep yang bergerak dan bisa mengalami perubahan. Ketiga, faktor pengungkit dan penghambat merupakan elemen tidak absolut. Keempat, faktor pengungkit dapat dibedakan berdasarkan pemanfaatannya untuk meningkatkan partisipasi GVC dan/ atau memanfaatkan inisiatif konektivitas. Kelima, terdapat elemen relativitas dalam faktor pengungkit, yakni relatif kesamaan antarnegara dan relativitas waktu. Keenam, peningkatan GVC dalam jangka panjang harus meningkatkan ketahanan strategis suatu negara. Ketujuh, monograf ini hanya menghadirkan titik awal diskusi dan sebagai bahan pertimbangan kebijakan Indonesia terkait insiatif konektivitas global. Kedelapan, Indonesia perlu memanfaatkan posisinya di ASEAN. Kesembilan, terdapat tren pelepasan (decoupling) sebagai tantangan dalam GVC dan geopolitik. Kesepuluh, posisi Indonesia dalam GVC masih lemah dan belum berhasil menjadi hub atau spoke dalam GVC.
Monograf ini memuat sejumlah saran kebijakan dengan mengambil skenario terburuk yang bertumpu pada empat faktor penghambat bagi Indonesia, yaitu terkait modal sumber daya manusia; kualitas institusional; kebijakan perdagangan dan investasi; serta pembangunan infrastruktur. Tim penulis menyajikan rekomendasi-rekomendasi tersebut untuk dilaksanakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang.